Sabtu, 27 Juli 2013

Meraba Panca Indera



Minggu, 21 Juni 2013 
Nampaknya malam ini menjadi malam yang penuh tetesan air mata. Tidak tahu kenapa, atau hanya memang perasaanku saja. Malam ini banyak yang meneteskan air mata. Aku tidak menyangka akan mendapatkan pemandangan yang menakjubkan ini. Satu persatu teman-temanku meneteskan air mata lantaran mendegarkan pembacaan manaqib. Kegiatan rutin yang kami lakukan sehabis shalat tarawih selama bulan puasa.

Entah apa yang membuat hati mereka mendadak menjadi melankolis seperti itu. Apakah hati mereka trenyuh mendengar alunan syair manaqib atau hanya sekadar terbawa suasana? Terbawa suasana? Aku rasa tidak. Suasana malam ini tidak berbeda jauh dengan malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang istimewa pada malam itu.
Setelah shalat tarawih usai acara dilanjutkan pembacaan Manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Mungkin tidak semua orang tahu akan tradisi tersebut, karena memang tradisi ini biasanya sering dilaksanakan di pondok pesantren, seperti yang menjadi rutinitas pondok pesantren tempat ku mondok. Tidak ingin membuang waktu lebeih banyak, acara pun segera dimulai. Salah satu ustad kami, namanya Gus Shobirin membuka acara dengan membaca doa dan dilanjukkan dengan pembacaan syair-syair oleh salah santri. Mungkin akan muncul pertanyaan perihal nama ustad tersebut yang disematkan kata “Gus” di depan nama sang ustad? Dalam tradisi pesantren memang bagi keturunan Kyai atau Ulama di depan namanya akan disematkan nama panggilan “Gus” untuk keturunan laki-laki. Namun berbeda dengan keturuan perempuan, kalau perempuan biasanya akan dipanggil “Neng”. Oleh karena itu kami memanggil ustad kami dengan panggilan Gus Shobirin.
Kembali ke pokok cerita. Gus Sobirin mengawali dengan membaca Hadroh dimulai untuk Nabi Muhammad, para sahabat, ulama-ulama yang sudah meninggal dan masih hidup, kedua orang tua hingga para muslim dan mukmin. Istilah hadroh lebih mudahnya adalah memberikan hadiah surah AL-Fatiha kepada pihak tertentu seperti contoh diatas. Setelah usai membaca hadroh santri yang bertugas segera membaca Manaqib dan menyanyikan syair. Maka Seketika itulah perlahan mataku mulai berkaca. Perlahan tapi pasti air mata mulai memenuhi bola mataku. Tidak perlu menunggu lama akhirnya air mataku menetes. Semacam air hujan yang jatuh dari langit. Nampaknya air mataku amat menikmati perjalanannyya sebelum memang benar-benar jatuh ke bumi. Pelan-pelan air mataku merangkak dipipi, seolah mencari jalan untuk sampai ke bumi. Memang ini adalah hukum gravitasi yang bekerja. Bumi akan menarik air mata agar jatuh ke pelukannya.
Suasana semakin mengharukan ketika Gus Sobirin turut meneteskan air mata. Entah apa yang menjadi penyebab sehingga beliau menjadi seperti itu. Tapi aku yakin ini semua memang karena kehendak Allah SWT. Mungkin karena kealiman dari Gus Sobirin sehingga hatinya menjadi trenyuh ketika beliau mendengar kalimah toyyibah. Hatinya tak kuasa membendung perasaan sendunya. Aku semakin takjub dengan Gus Sobirin. Bukan hanya tampan, beliau juga termasuk golongan laki-laki yang cerdas dan alim. Karakter seperti beliaulah yang dibutuhkan oleh umat islam saat ini. Karakter yang tidak bisa ditemukan pada diri setiap orang. Subhanallah. Sungguh. Aku merasa iri dengan beliau. Aku harus belajar banyak dari beliau.
Anehnya air mataku seolah habis ketika melihat gus sobirin meneteskan air mata. Sontak aku tidak bisa menangis lagi. Sekalipun aku sudah memaksa mata ini untuk menjatuhkan air mata lagi. Tapi sungguh. Hal yang sangat membahagiakan ketika kita bisa menangis ketika mendengarkan Asma Allah meraba panca indera kita. Aku harap aku akan bisa merasakan kebahagiaan itu lagi dan lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Entri Populer

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Followers

 

Blogger news

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger