Minggu, 21 Juni 2013
Nampaknya malam ini menjadi malam
yang penuh tetesan air mata. Tidak tahu kenapa, atau hanya memang perasaanku
saja. Malam ini banyak yang meneteskan air mata. Aku tidak menyangka akan
mendapatkan pemandangan yang menakjubkan ini. Satu persatu teman-temanku
meneteskan air mata lantaran mendegarkan pembacaan manaqib. Kegiatan rutin yang
kami lakukan sehabis shalat tarawih selama bulan puasa.
Entah apa yang membuat hati mereka
mendadak menjadi melankolis seperti itu. Apakah hati mereka trenyuh mendengar
alunan syair manaqib atau hanya sekadar terbawa suasana? Terbawa suasana? Aku
rasa tidak. Suasana malam ini tidak berbeda jauh dengan malam-malam sebelumnya.
Tidak ada yang istimewa pada malam itu.
Setelah shalat tarawih usai acara
dilanjutkan pembacaan Manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Mungkin tidak
semua orang tahu akan tradisi tersebut, karena memang tradisi ini biasanya
sering dilaksanakan di pondok pesantren, seperti yang menjadi rutinitas pondok
pesantren tempat ku mondok. Tidak ingin membuang waktu lebeih banyak, acara pun
segera dimulai. Salah satu ustad kami, namanya Gus Shobirin membuka acara
dengan membaca doa dan dilanjukkan dengan pembacaan syair-syair oleh salah
santri. Mungkin akan muncul pertanyaan perihal nama ustad tersebut yang
disematkan kata “Gus” di depan nama sang ustad? Dalam tradisi pesantren memang
bagi keturunan Kyai atau Ulama di depan namanya akan disematkan nama panggilan
“Gus” untuk keturunan laki-laki. Namun berbeda dengan keturuan perempuan, kalau
perempuan biasanya akan dipanggil “Neng”. Oleh karena itu kami memanggil ustad
kami dengan panggilan Gus Shobirin.
Kembali ke pokok cerita. Gus Sobirin
mengawali dengan membaca Hadroh dimulai untuk Nabi Muhammad, para sahabat, ulama-ulama
yang sudah meninggal dan masih hidup, kedua orang tua hingga para muslim dan
mukmin. Istilah hadroh lebih mudahnya adalah memberikan hadiah surah AL-Fatiha
kepada pihak tertentu seperti contoh diatas. Setelah usai membaca hadroh santri
yang bertugas segera membaca Manaqib dan menyanyikan syair. Maka Seketika itulah
perlahan mataku mulai berkaca. Perlahan tapi pasti air mata mulai memenuhi bola
mataku. Tidak perlu menunggu lama akhirnya air mataku menetes. Semacam air
hujan yang jatuh dari langit. Nampaknya air mataku amat menikmati
perjalanannyya sebelum memang benar-benar jatuh ke bumi. Pelan-pelan air mataku
merangkak dipipi, seolah mencari jalan untuk sampai ke bumi. Memang ini adalah
hukum gravitasi yang bekerja. Bumi akan menarik air mata agar jatuh ke pelukannya.
Suasana semakin mengharukan ketika
Gus Sobirin turut meneteskan air mata. Entah apa yang menjadi penyebab sehingga
beliau menjadi seperti itu. Tapi aku yakin ini semua memang karena kehendak
Allah SWT. Mungkin karena kealiman dari Gus Sobirin sehingga hatinya menjadi
trenyuh ketika beliau mendengar kalimah toyyibah. Hatinya tak kuasa membendung
perasaan sendunya. Aku semakin takjub dengan Gus Sobirin. Bukan hanya tampan,
beliau juga termasuk golongan laki-laki yang cerdas dan alim. Karakter seperti
beliaulah yang dibutuhkan oleh umat islam saat ini. Karakter yang tidak bisa
ditemukan pada diri setiap orang. Subhanallah. Sungguh. Aku merasa iri dengan
beliau. Aku harus belajar banyak dari beliau.
Anehnya air mataku seolah habis
ketika melihat gus sobirin meneteskan air mata. Sontak aku tidak bisa menangis
lagi. Sekalipun aku sudah memaksa mata ini untuk menjatuhkan air mata lagi. Tapi
sungguh. Hal yang sangat membahagiakan ketika kita bisa menangis ketika
mendengarkan Asma Allah meraba panca indera kita. Aku harap aku akan bisa
merasakan kebahagiaan itu lagi dan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar