Alunan lagu gereja nan merdu menggodaku untuk beranjak
bangun dari tidur. Selintas aku masih ingat bunga tidur semalam.
Samar-samar Sekedar membasuh muka dan
kembali lagi ke tempat tidur.
Aku hidup di lingkar keluarga berkecukupan. Ayah seorang
rektor di Universitas Swata di kota ini. Ibuku guru matematika di SMA. Mereka
menikah 20 tahun yang lalu, 2 tahun setelah membangun keluarga aku hadir
menyempurnakan system yang mereka dirikan.
Semenjak saat itu kami hidup dalam
sebuah keluarga sederhana yang dilingkupi kebahagiaan yang hampir sempurna. Hampir.
Mengapa? Kedua orang tuaku memiliki keyakinan agama yang berbeda. Ayah memilih
hindhu sebagai akidah yang dia yakini.
Berbeda dengan ibu yang memilih Kristen protestan sebagai agama. Bisa
dibayangkan anehnya keluargaku. Dua orang dewasa menikah dengan latar belakang
agama yang berbeda, melahirkan seorang anak yang berbeda agama dari orang tua.
Sebenarnya aku diwarisi agama islam oleh kakek. Aneh.
Seperti biasa, minggu pagi aku sendirian di rumah. Ayah
pergi dengan teman-teman club motor gedenya touring. Ibu di gereja. Maklum,
beliau salah satu orang penting di gereja. Ibu sering menyanyikan lagu rohani
di gereja. Abi, makanan ditempat seperti
biasa. Ayah pergi Touring, Ibu ke gereja. Mungkin ibu pulang agak sore, ada
arisan. Love, ayah ibu.Memo untukku tertempel di pintu kulkas dari ayah dan
ibu. Mereka sudah hafal dengan kebiasaan anaknya setiap pagi. Setiap bangun
tidur, aku pasti membuka gagang pintu kulkas, mencari makanan atau sekadar
camilan kecil.
Ada satu sachet kopi susu di kulkas. Lumayan cukup menghangatkan
tubuh, pikirku. Lekas aku pergi ke teras rumah untuk membaca Koran sambil minum
kopi. Kalau-kalau ada berita bagus hari ini. Aku bukan termasuk orang yang suka
membaca, apalagi berita. Itu bukan aku. Aku sandarkan tubuh kurusku di kursi
kayu berwarna coklat kehitaman . Ayah bernah bilang kalau kursi itu dibeli 2
tahun sebelum aku lahir. Cukup tua.
Suara klakson terdengar jelas dari indera pendengarku.
Ternyata masih normal. Mobil kijang jenis sedan tahun 90-an warna hitam
berhenti di seberang jalan depan rumah. Mungkin ada orang pindahan, tetangga
baru. Sudah satu minggu rumah itu tidak ada penghuni. Dengar kabar barung kalau
rumah itu dijual. Rumah bergaya klasik dengan tatanan yang rapi dan indah
terlalu sayang dijual percuma. Aku tidak terlalu mengenal penghuni yang lama.
Ya, seperti itulah kehidupan di kompleks perumahan mewah. Orang-orang terlalu
sibuk untuk sekedar menjalin silaturahim antar tetangga.
“Mari mas”, suara wanita separuh baya terdengar dari
seberang jalan membubarkan barisan lamunanku yang sudah antri dalam system
otak. Kaget. “Iya tante.” Senyum simpul dan anggukan kepala menandakan bahwa
aku sudah memberikan respon pada wanita itu sebagai rasa hormat pada orang
lain. Nampaknya aku akan memilki tetangga yang menyenangkan. Konklusi yang aku
ambil setelah apa yang beliau lakukan padaku. Mau menyapa tetangga adalah hal
yang sangat luar biasa menurutku. Semoga tidak berlebihan.
Entah malaikat apa yang membisik di telinga. Aku taruh Koran
yang dari tadi aku pegang dan sekalipun tak aku baca. Beranjak berdiri dan menuju
kerumah tetangga baru diseberang jalan sana. Mungkin wanita itu belum sadar
dengan kehadranku di belakangnya. “Baru pindah buk?”, aku lontarkan pertanyaan
ringan untuk memulai obrolan sekaligus member tanda bahwa aku telah berdiri di
belakangnya.”Eh, mas? Maaf-maaf, ibu ndak tahu kalau ada mas.”, sontak beliau
menjawab nampak wanita separuh baya itu sedikit kaget dengan kehadiranku yang
tiba-tiba.
“Oh iya bu gag apa-apa. Maaf sudah buat ibu kaget.”,jawabku
singkat sambil tersenyum pada beliau. Nampaknya beliau lupa akan pertanyaannya.
Tak apalah.
“”
0 komentar:
Posting Komentar