Senin, 27 Mei 2013

Dalam Saku

Alunan lagu gereja nan merdu menggodaku untuk beranjak bangun dari tidur. Selintas aku masih ingat bunga tidur semalam. Samar-samar  Sekedar membasuh muka dan kembali lagi ke tempat tidur.
Aku hidup di lingkar keluarga berkecukupan. Ayah seorang rektor di Universitas Swata di kota ini. Ibuku guru matematika di SMA. Mereka menikah 20 tahun yang lalu, 2 tahun setelah membangun keluarga aku hadir menyempurnakan system yang mereka dirikan.
Semenjak saat itu kami hidup dalam sebuah keluarga sederhana yang dilingkupi kebahagiaan yang hampir sempurna. Hampir. Mengapa? Kedua orang tuaku memiliki keyakinan agama yang berbeda. Ayah memilih hindhu sebagai  akidah yang dia yakini. Berbeda dengan ibu yang memilih Kristen protestan sebagai agama. Bisa dibayangkan anehnya keluargaku. Dua orang dewasa menikah dengan latar belakang agama yang berbeda, melahirkan seorang anak yang berbeda agama dari orang tua. Sebenarnya aku diwarisi agama islam oleh kakek. Aneh.
Seperti biasa, minggu pagi aku sendirian di rumah. Ayah pergi dengan teman-teman club motor gedenya touring. Ibu di gereja. Maklum, beliau salah satu orang penting di gereja. Ibu sering menyanyikan lagu rohani di gereja. Abi, makanan ditempat seperti biasa. Ayah pergi Touring, Ibu ke gereja. Mungkin ibu pulang agak sore, ada arisan. Love, ayah ibu.Memo untukku tertempel di pintu kulkas dari ayah dan ibu. Mereka sudah hafal dengan kebiasaan anaknya setiap pagi. Setiap bangun tidur, aku pasti membuka gagang pintu kulkas, mencari makanan atau sekadar camilan kecil.
Ada satu sachet kopi susu di kulkas. Lumayan cukup menghangatkan tubuh, pikirku. Lekas aku pergi ke teras rumah untuk membaca Koran sambil minum kopi. Kalau-kalau ada berita bagus hari ini. Aku bukan termasuk orang yang suka membaca, apalagi berita. Itu bukan aku. Aku sandarkan tubuh kurusku di kursi kayu berwarna coklat kehitaman . Ayah bernah bilang kalau kursi itu dibeli 2 tahun sebelum aku lahir. Cukup tua.
Suara klakson terdengar jelas dari indera pendengarku. Ternyata masih normal. Mobil kijang jenis sedan tahun 90-an warna hitam berhenti di seberang jalan depan rumah. Mungkin ada orang pindahan, tetangga baru. Sudah satu minggu rumah itu tidak ada penghuni. Dengar kabar barung kalau rumah itu dijual. Rumah bergaya klasik dengan tatanan yang rapi dan indah terlalu sayang dijual percuma. Aku tidak terlalu mengenal penghuni yang lama. Ya, seperti itulah kehidupan di kompleks perumahan mewah. Orang-orang terlalu sibuk untuk sekedar menjalin silaturahim antar tetangga.
“Mari mas”, suara wanita separuh baya terdengar dari seberang jalan membubarkan barisan lamunanku yang sudah antri dalam system otak. Kaget. “Iya tante.” Senyum simpul dan anggukan kepala menandakan bahwa aku sudah memberikan respon pada wanita itu sebagai rasa hormat pada orang lain. Nampaknya aku akan memilki tetangga yang menyenangkan. Konklusi yang aku ambil setelah apa yang beliau lakukan padaku. Mau menyapa tetangga adalah hal yang sangat luar biasa menurutku. Semoga tidak berlebihan.
Entah malaikat apa yang membisik di telinga. Aku taruh Koran yang dari tadi aku pegang dan sekalipun tak aku baca. Beranjak berdiri dan menuju kerumah tetangga baru diseberang jalan sana. Mungkin wanita itu belum sadar dengan kehadranku di belakangnya. “Baru pindah buk?”, aku lontarkan pertanyaan ringan untuk memulai obrolan sekaligus member tanda bahwa aku telah berdiri di belakangnya.”Eh, mas? Maaf-maaf, ibu ndak tahu kalau ada mas.”, sontak beliau menjawab nampak wanita separuh baya itu sedikit kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba.
“Oh iya bu gag apa-apa. Maaf sudah buat ibu kaget.”,jawabku singkat sambil tersenyum pada beliau. Nampaknya beliau lupa akan pertanyaannya. Tak apalah.

“”

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Entri Populer

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Followers

 

Blogger news

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger