Jumat, 24 Mei 2013

Lampu-lampu Jalan



Semenjak peristiwa itu, aku merasa muak dengan hidup tak berguna ini. Sinar matahari yang menyinari bumi tak ubahnya sebuah hujatan besar bagiku. Ia selalu tertawa meskipun ia tahu aku tak akan pernah sedikitpun untuk melontarkan senyum pada dunia. Hembusan angin tiap pagi hanyalah sebuah jarum yang merajam kulit tipisku, menyisakan rasa sakit yang tak akan pernah sirna dari sanubari. Sebesar apapun usahaku menyembuhkan rasa pilu ini, sama sekali tidak akan
membawa perubahan pada hidupku yang sudah kehilangan arah. Cita-cita hanya sebuah wacana, tidak akan pernah menjadi sesuatu yang nyata.
Orang-orang berpeci itu bilang bahwa Tuhan maha Adil, Maha penyayang juga maha pengasih. Bagiku perkataan mereka hanyalah bualan semata. Mereka berdusta padaku. Sungguh aku tidak terima. Mereka hanya bisa mengelus rambut hitamku dan memaksaku untuk bersabar. Sabar? Sudah tidak ada kata sabar dalam hidupku. Dimana letak cahaya keadilan itu? Mereka tidak pernah merasakan rasa sakit ketika hati mereka tersayat begitu perihnya. Luka yang tak akan pernah hilang bekasnya. Tak bisa aku mengelak.
Tuhan tidak pernah mengerti keadaanku. Dia membiarkan aku sendiri membiarkan tangan-tangan malaikat itu melepaskan pelukan mereka. Tuhan menakdirkan aku harus merasakan hawa sang malam yang menusuk tulang. Membuat daging ini serasa membusuk. Sinar matahari membuat kulit sawo matangku menjadi semakin gelap. Terasa terbakar. Membiarkan mata membuang air secara percuma tak ada guna. Hanya menangisi mereka untuk pergi ke surga semoga tanpa harus singgah ke neraka.
Mataku bengkak sebab tangisan kemarin. Aku menangis. Bukan. Bukan aku yang menangis. Hanya dua bola mata ini yang cengeng. Lagi pula juga bukan kehendakku.  Aku membiarkan air mata tak berguna ini jatuh menyirami tanah. Sama sekali bukan hal yang berguna. Masaku habis karena hal memuakkan itu. Terdampar ke tempat gelap. Cahayapun enggan menampakkan sinarnya. Menerobos sekat pembatas kebahagiaan dan rasa pilu. Para setan dan iblis mungkin sedang tertawa. Tertawa lepas, layaknya layangan yang putus terbang tanpa arah. Entah kemana. Tidak ada yang tahu. Tuhan tak mendengar jeritan hati kecil ini. Apakah karena kurang keras? Atau memang tak mau mendengar? Aku yakin Tuhan tidak tuli. Tapi tak sedikitpun aku percaya bahwa Tuhan akan mengulurkan tangan-Nya.
Kebahagiaan bukan hakku. Juga bukan takdir yang diciptakan bagi diri hina ini. Mungkin. Penyesalan dan pahit menyambut kedatanganku dengan berbagai celaan yang mereka miliki. Bagai ribuan peluru senapan mengantri menunggu pelatuknya ditarik.
Malam ini hujan turun terlalu lebat. Nyaris aku menjadi tuli dibuatnya. Hampir kedua telingaku tak mampu menagkap suara yang dibuat oleh mulutku sendiri. Mungkinkah langit turut menangis menemani kesedihanku? Atau ia hanya meludahiku dengan air yang ia turunkan dari ujung atas sana? Samar-samar suara merdu adzan terdengar indera dengarku. Ternyata tuhan sudah memanggilku lagi. Untuk apa? Untuk membuatku merasakan pilu lagi? Tidak. Aku tidak mau.
Tok tok tok. Suara ketukan pintu memanggilku. Bukan. Bukan pintu yang memanggilku. Ada suara lain yang terdengar dibalik suara ketukan pintu. “Den, Aden. Den Firman. Waktunya makan Den. Sudah ditunggu juragan diruang makan.”suara wanita tua yang tak asing ditelingaku. Ya, suaranya sangat aku kenal. Sesaat aku membuka mata. Hanya langit-langit warna putih berhiasakan sarang laba-laba yang aku lihat. Bukan. Ada gambar wajah disana. Semakin lama fokusku semakin tinggi akan wajah itu. Wajah manusia yang bersinarkan cahaya keikhlasan nampak jelas terlukiskan. Bibirnya, hidungnya, pipi, mata, dahi, alisnya. Cantik. Cantik sekali. Wanita separuh baya bernurani malaikat yang selalu mengelus-elus ubun-ubunku setiap pagi hanya untuk membuatku terbangun dari petualangan mimpiku waktu malam. Setiap pagi dan setiap pagi.
Tok tok tok. Sirna. Suara ketukan pintu itu menghempaskan debu-debu anganku terbang kesana kemari menjadi carut marut entah seperti apa bentuknya. Baru kusadari kalau Mbah Minah mengetuk pintu beberapa kali. Memintaku untuk segera keluar dari persinggahan tidur sekedar untuk makan malam. Aku terlalu larut dalam imajinasi dan fantasi kesedihanku. Imanjinasi yang menuntunku ke dalam lubang kegagalan suatu saat. Mungkin hanya berlaku bagi manusia-manusia yang terlalu “menikmati” kesedihannya. Menikmati? Iya. Menikmati. Terlalu susah untuk melepaskan rasa pilu itu dari sanubari. Akan lebih sakit jika dibandingkan jika aku hidup tanpa jantung. Hidup tanpa jantung akan menjadi hal yang sangat membahagiakan bagiku jika aku masih bisa mendengar detakan jantung dari ibuku. Itu hanya sebuah fatamorgana yang tidak akan menjadi kenyataan di dunia ini. Fatamorgana yang tidak ada harganya sama sekali.
Aku membuka pintu. Mbah Minah sudah berdiri tepat didepan pintu berwarna coklat milikku. Pintu berwarna coklat dan bergaya klasik adalah ibuku yang memilih. Wanita itulah yang selalu mengatur sisitem hidupku dengan berbagai aturan yang ia buat khusus untukku. Aturan yang dibuat dengan berlandaskan cinta dan kasih sayang. “Den. Den firman?” Sontak aku terkejut setelah Mbah Minnah mengerakkan tangannya tepat didepan mataku. Mbah Minah sempat terkejut saat menatap wajahku. Mungkin ia tahu jika aku usai menangis. Terlihat dari mataku yang bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Tapi ia bertingakahseolah-olah tidak ada apa-apa dan tidak pernah terjadi apa-apa.  ”Aden sakit? ” lanjutnya.
“Oh. Gak  mbah. Aku nggak apa-apa.” Jawabku singkat pada Mbah Minnah. Mulutku berdusta. Apakah akan berdosa?  Aku sedih Mbah. Aku nggak bisa melepas ibu. Ini terlalu sakit. Ibu terlalu jahat meninggalkanku sendiri disini. Sungguh. Ini terlalu cepat. Jujur saja mbah. Jika ada cara untuk menyusulnya segera akan kulakukan. Ungkapan melankolis yang tidak mungkin aku utarakan pada Mba Minah. Biarlah Mbah Minnah tidak tahu. “Bapak dimana?” Tanyaku untuk mencairkan suasana. “Bapak sudah menunggu Aden dari tadi. Mbah disuruh membangunkan Aden. Bapak mau mengajak Aden makan malam.” Jelasnya.
Lekas aku segera berjalan menuruni anak tangga. Tak ingin membuat Bapak menunggu lebih lama. Dari tangga terlihat laki-laki tua itu sedang asik memainkan makanannya. Mungkin ia masih menungguku. “Kenapa tidak dimakan Pak?” ucapku pada Bapak.
“Eh, Man. Sudah Bangun kamu nak?” ia sempat terkejut mendengar suaraku.
“Sudah. Tadi Mbah Minah yang ngebangunin.” Sambil menarik kursi di bawah meja makan dan duduk ikut bergabung makan malam.
dak ”Kamu masih sedih?” singkat bapak menanyakan kesedihanku. Nampaknya ia ingin segera masuk dalam pokok pembicaraan. Itulah bapakku. Laki-laki yang tidak suka dengan basa-basa. Ia lebih suka langsung dengan inti suatu masalah. Mungkin inilah salah satu sifat yang ibu suka dari Bapak. Tidak suka bertele-tele. Aku tetap diam. Seoalah tidak mengiraukan pertanyaan yang ia lontarkan. Aku hanya mengambil nasi goreng. Sedikit saja nasi yang aku ambil. Tidak terlalu berselera makan untuk hari ini. Rasa kenyangku sudah terlupa oleh pikiran, tergeserkan rasa pilu yang amat sangat di dalam hati.
“Bapak tahu. Bapak tahu apa yang kamu rasakan. Bapak juga sangat sedih. ” nampaknya obrolan ayah semakin serius. Namun aku tetap diam. Aku tetap tak bergeming dengan obrolannya. Mulut ini terasa enggan untuk mengeluaran sepata kata sedikitpun. Lidahpun terasa kaku.
“Kamu beruntung memiliki ibu seperti dia. Wanita cantik dan baik. Ibumu menjadi rebutan para laki-laki sebelum menikah dengan bapak. Bapak menjadi laki-laki yang sangat beruntung bisa mempersunting mendiang ibumu.” Sedikit demi sedikit ia memakan nasi goreng yang sejak tadi ia mainkan. Aku masih diam. Tangan-tanganku terampil memainkan nasi goreng di atas piring. Namun aku menjadi bodoh, seolah tidak tahu cara memakan nasi yang terhidang kian menggoda didepan mata.
“Ibumu adalah sosok wanita yang sempurna. Dia berwujud manusia namun berhati malaikat.”lanjutnya. Nampaknya ia masih sabar melihatku tidak memberika reaksi apapun atas semua tuturannya. Akupun masih diam seribu bahasa. Bayang-bayang ibu tidak bisa lepas dari pikiran. Seolah diantara keduanya mengikat sebuah tali yang sangat erat. Sangat erat. Mungkin tidak akan pernah lepas untuk selamanya. Sempat terlintas dalam pikiranku terhadap tingkah Bapak. Sepeninggalnya ibu sama sekali tidak nampak sebuah kesedihan hinggap pada dirinya. Apakah ia merasa tegar untuk menerima kenyataan atau hanya berdusta menutupi perasaan hati yang hancur luluh lantah tak karuan. Aku tidak tahu.
Tetap saja Bapak bercerita tentang kehidupan almarhumah meskipun aku tidak memberikan respon sedikit akan ceritanya.
“Saat kami menikah, cita-cita kami adalah memilki anak laki-laki. Sekarang kami memilikimu. Ketika Firman lahir, bapak dan ibu saling berjanji, jika salah satu dari kami harus pergi, siapapun harus tetap menjaga anak kami. Kamu. ” Dia diam. Aku diam. Kami diam. Tidak ada suara sedikitpun.
“kenapa secepat ini?” mulutku tiba-tiba ikut mengambil alih dialog ini.
“kenapa ibu terlalu jahat padaku. Kenapa ia begitu tega melakukan ini semua. Bukankah aku anaknya? Bukankah dia ibuku? Bukankah seorang ibu harus menjaga anaknya?” mulutku tidak bisa ditahan untuk mengungkapkan apa yang sejatinya menjadi pengganjal dalam sanubari. Bapak hanya mengaggukkan kepalanya. Seolah dia sudah mengerti dengan sikapku saat ini.
“Firman, bapak pikir kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti ini semua. Kamu pasti juga tahu tentang ibumu. ” sembari ia meletakkan sendok dan garpu yang sedari tadi ia gunakan. Nasi gorengnya masih sisa separuh masih menanti untuk segera dilahap. Bapak tahu jika suasana diantara kami sudah semakin serius. Dan dia juga tahu bahwa harus focus pada pembicaraan diantara kami. Ia meneguk segelas air sekadar melumasi tenggorokan yang kering.
“Bumi bukanlah tempat abadi manusia Nak. Hanya sementara manusia tinggal dibumi. Ibumu, Bapak, Mbah Minnah bahkan kamu sendiri juga akan meninggalkan bumi ini kelak. Ini adalah kehendak Tuhan, Nak. Dan kita hanya Makhluk Tuhan.”
“Kata Bapak Tuhan Maha Adil. Bapak bohong. Tuhan tidak adil kepadaku. Dia menyiksaku dengan takdirnya. Di mana Tuhan? Dia tidak memberikanku kebahagiaanku. Dia merenggut sumber bahagiaku.” aku semakin tidak terima dengan kepergian ibu. Tangan kananku yang mememegang gelas sejak tadi, menjadi semakin erat. Aku ingin membanting gelas itu sebagai wujud amarahku yang semakin memuncak.
Bapak hanya diam. Dia hanya memandangku dengan tatapannya.
“Ini semua gara-gara bapak. Ba…” aku menyela ucapannya meski belum selesai.
“Iya! Ini semua salah bapak! Jika bapak tidak sekarat sakit ginjal dan jika ibu tidak mendonorkan ginjalnya pada bapak, pasti ini semua tidak akan pernah terjadi. Pasti ibu akan tetap di sini. Di rumah ini. Firman tidak akan merasakan sakit yang amat sangat seperti sekarang.” Amarah dan emosiku semakin menjadi-jadi. Gelas yang aku pegang lepas dari tangan. Amarahku menuntun tangan ini melempar ke lantai. Pecahan gelas terhampar di sekitar meja.
Bapak tersentak kaget dengan tingkahku. Nyaris ia tidak percaya jika aku akan marah seperti ini. Ia sangat sedih dan amat menyesal.
“bapak minta maaf, nak.” Ucapnya.
“Ribuan kali bapak minta maaf tidak akan bisa  membuat ibu kembali di sini!” aku beranjak dari kursi dan memungut pecahan gelas di lantai. Aku taruh pecahan itu di atas meja dan lantas pergi meningglakan ruang makan.
“Firman mau keluar rumah. Mungkin pulang besok.” Sambil berjalan meninggalkan meja makan.
Hujan sudah reda. Suara jangkrik saling bersautan berpadu menjadi sebuah irama yang memekakkan telinga bagiku. Langit sudah tidak menangis. Aku pergi dari rumah. Tidak tahu akan kemana. Mungkin diluar sana aku akan bertemu dengan malaikat. Malaikat yang akan menyampaikan alasan tuhan menciptakan takdir itu kepada. Langit pucat. Tidak ada bintang disana. Sang bulan berpadu kasih dengan mega dilangit. Ia bersembunyi. Lampu jalanan menerangi langkah kaki yang tak tahu akan berjalan kemana. Tak tahu akan berhenti kapan. Memberika kekuasaan pada kaki-kaki kurusku untuk mengekspresikan keinginannya. Membiarkan lampu-lampu jalan menenuntun kaki untuk terbang.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Entri Populer

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Followers

 

Blogger news

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger