Semenjak peristiwa itu, aku merasa muak dengan hidup
tak berguna ini. Sinar matahari yang menyinari bumi tak ubahnya sebuah hujatan
besar bagiku. Ia selalu tertawa meskipun ia tahu aku tak akan pernah sedikitpun
untuk melontarkan senyum pada dunia. Hembusan angin tiap pagi hanyalah sebuah
jarum yang merajam kulit tipisku, menyisakan rasa sakit yang tak akan pernah
sirna dari sanubari. Sebesar apapun usahaku menyembuhkan rasa pilu ini, sama
sekali tidak akan
membawa perubahan pada hidupku yang sudah kehilangan arah.
Cita-cita hanya sebuah wacana, tidak akan pernah menjadi sesuatu yang nyata.
Orang-orang berpeci itu bilang bahwa Tuhan maha
Adil, Maha penyayang juga maha pengasih. Bagiku perkataan mereka hanyalah
bualan semata. Mereka berdusta padaku. Sungguh aku tidak terima. Mereka hanya
bisa mengelus rambut hitamku dan memaksaku untuk bersabar. Sabar? Sudah tidak
ada kata sabar dalam hidupku. Dimana letak cahaya keadilan itu? Mereka tidak
pernah merasakan rasa sakit ketika hati mereka tersayat begitu perihnya. Luka
yang tak akan pernah hilang bekasnya. Tak bisa aku mengelak.
Tuhan tidak pernah mengerti keadaanku. Dia
membiarkan aku sendiri membiarkan tangan-tangan malaikat itu melepaskan pelukan
mereka. Tuhan menakdirkan aku harus merasakan hawa sang malam yang menusuk
tulang. Membuat daging ini serasa membusuk. Sinar matahari membuat kulit sawo
matangku menjadi semakin gelap. Terasa terbakar. Membiarkan mata membuang air
secara percuma tak ada guna. Hanya menangisi mereka untuk pergi ke surga semoga
tanpa harus singgah ke neraka.
Mataku bengkak sebab tangisan kemarin. Aku menangis.
Bukan. Bukan aku yang menangis. Hanya dua bola mata ini yang cengeng. Lagi pula
juga bukan kehendakku. Aku membiarkan
air mata tak berguna ini jatuh menyirami tanah. Sama sekali bukan hal yang
berguna. Masaku habis karena hal memuakkan itu. Terdampar ke tempat gelap.
Cahayapun enggan menampakkan sinarnya. Menerobos sekat pembatas kebahagiaan dan
rasa pilu. Para setan dan iblis mungkin sedang tertawa. Tertawa lepas, layaknya
layangan yang putus terbang tanpa arah. Entah kemana. Tidak ada yang tahu.
Tuhan tak mendengar jeritan hati kecil ini. Apakah karena kurang keras? Atau
memang tak mau mendengar? Aku yakin Tuhan tidak tuli. Tapi tak sedikitpun aku
percaya bahwa Tuhan akan mengulurkan tangan-Nya.
Kebahagiaan bukan hakku. Juga bukan takdir yang
diciptakan bagi diri hina ini. Mungkin. Penyesalan dan pahit menyambut
kedatanganku dengan berbagai celaan yang mereka miliki. Bagai ribuan peluru
senapan mengantri menunggu pelatuknya ditarik.
Malam ini hujan turun terlalu lebat. Nyaris aku
menjadi tuli dibuatnya. Hampir kedua telingaku tak mampu menagkap suara yang
dibuat oleh mulutku sendiri. Mungkinkah langit turut menangis menemani
kesedihanku? Atau ia hanya meludahiku dengan air yang ia turunkan dari ujung
atas sana? Samar-samar suara merdu adzan terdengar indera dengarku. Ternyata
tuhan sudah memanggilku lagi. Untuk apa? Untuk membuatku merasakan pilu lagi?
Tidak. Aku tidak mau.
Tok tok tok. Suara ketukan pintu memanggilku. Bukan.
Bukan pintu yang memanggilku. Ada suara lain yang terdengar dibalik suara
ketukan pintu. “Den, Aden. Den Firman. Waktunya makan Den. Sudah ditunggu juragan
diruang makan.”suara wanita tua yang tak asing ditelingaku. Ya, suaranya sangat
aku kenal. Sesaat aku membuka mata. Hanya langit-langit warna putih berhiasakan
sarang laba-laba yang aku lihat. Bukan. Ada gambar wajah disana. Semakin lama
fokusku semakin tinggi akan wajah itu. Wajah manusia yang bersinarkan cahaya
keikhlasan nampak jelas terlukiskan. Bibirnya, hidungnya, pipi, mata, dahi,
alisnya. Cantik. Cantik sekali. Wanita separuh baya bernurani malaikat yang
selalu mengelus-elus ubun-ubunku setiap pagi hanya untuk membuatku terbangun
dari petualangan mimpiku waktu malam. Setiap pagi dan setiap pagi.
Tok tok tok. Sirna. Suara ketukan pintu itu
menghempaskan debu-debu anganku terbang kesana kemari menjadi carut marut entah
seperti apa bentuknya. Baru kusadari kalau Mbah Minah mengetuk pintu beberapa
kali. Memintaku untuk segera keluar dari persinggahan tidur sekedar untuk makan
malam. Aku terlalu larut dalam imajinasi dan fantasi kesedihanku. Imanjinasi
yang menuntunku ke dalam lubang kegagalan suatu saat. Mungkin hanya berlaku
bagi manusia-manusia yang terlalu “menikmati” kesedihannya. Menikmati? Iya.
Menikmati. Terlalu susah untuk melepaskan rasa pilu itu dari sanubari. Akan
lebih sakit jika dibandingkan jika aku hidup tanpa jantung. Hidup tanpa jantung
akan menjadi hal yang sangat membahagiakan bagiku jika aku masih bisa mendengar
detakan jantung dari ibuku. Itu hanya sebuah fatamorgana yang tidak akan
menjadi kenyataan di dunia ini. Fatamorgana yang tidak ada harganya sama
sekali.
Aku membuka pintu. Mbah Minah sudah berdiri tepat
didepan pintu berwarna coklat milikku. Pintu berwarna coklat dan bergaya klasik
adalah ibuku yang memilih. Wanita itulah yang selalu mengatur sisitem hidupku
dengan berbagai aturan yang ia buat khusus untukku. Aturan yang dibuat dengan
berlandaskan cinta dan kasih sayang. “Den. Den firman?” Sontak aku terkejut
setelah Mbah Minnah mengerakkan tangannya tepat didepan mataku. Mbah Minah
sempat terkejut saat menatap wajahku. Mungkin ia tahu jika aku usai menangis.
Terlihat dari mataku yang bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Tapi ia bertingakahseolah-olah tidak ada apa-apa dan tidak pernah terjadi
apa-apa. ”Aden sakit? ” lanjutnya.
“Oh. Gak mbah. Aku nggak apa-apa.” Jawabku singkat pada
Mbah Minnah. Mulutku berdusta. Apakah akan berdosa? Aku
sedih Mbah. Aku nggak bisa melepas ibu. Ini terlalu sakit. Ibu terlalu jahat
meninggalkanku sendiri disini. Sungguh. Ini terlalu cepat. Jujur saja mbah.
Jika ada cara untuk menyusulnya segera akan kulakukan. Ungkapan melankolis
yang tidak mungkin aku utarakan pada Mba Minah. Biarlah Mbah Minnah tidak tahu.
“Bapak dimana?” Tanyaku untuk mencairkan suasana. “Bapak sudah menunggu Aden
dari tadi. Mbah disuruh membangunkan Aden. Bapak mau mengajak Aden makan
malam.” Jelasnya.
Lekas aku segera berjalan menuruni anak tangga. Tak
ingin membuat Bapak menunggu lebih lama. Dari tangga terlihat laki-laki tua itu
sedang asik memainkan makanannya. Mungkin ia masih menungguku. “Kenapa tidak
dimakan Pak?” ucapku pada Bapak.
“Eh, Man. Sudah Bangun kamu nak?” ia sempat terkejut
mendengar suaraku.
“Sudah. Tadi Mbah Minah yang ngebangunin.” Sambil
menarik kursi di bawah meja makan dan duduk ikut bergabung makan malam.
dak ”Kamu masih sedih?” singkat bapak menanyakan
kesedihanku. Nampaknya ia ingin segera masuk dalam pokok pembicaraan. Itulah
bapakku. Laki-laki yang tidak suka dengan basa-basa. Ia lebih suka langsung
dengan inti suatu masalah. Mungkin inilah salah satu sifat yang ibu suka dari
Bapak. Tidak suka bertele-tele. Aku tetap diam. Seoalah tidak mengiraukan pertanyaan
yang ia lontarkan. Aku hanya mengambil nasi goreng. Sedikit saja nasi yang aku
ambil. Tidak terlalu berselera makan untuk hari ini. Rasa kenyangku sudah
terlupa oleh pikiran, tergeserkan rasa pilu yang amat sangat di dalam hati.
“Bapak tahu. Bapak tahu apa yang kamu rasakan. Bapak juga sangat sedih. ” nampaknya obrolan ayah semakin serius. Namun aku tetap diam. Aku tetap tak bergeming dengan obrolannya. Mulut ini terasa enggan untuk mengeluaran sepata kata sedikitpun. Lidahpun terasa kaku.
“Bapak tahu. Bapak tahu apa yang kamu rasakan. Bapak juga sangat sedih. ” nampaknya obrolan ayah semakin serius. Namun aku tetap diam. Aku tetap tak bergeming dengan obrolannya. Mulut ini terasa enggan untuk mengeluaran sepata kata sedikitpun. Lidahpun terasa kaku.
“Kamu beruntung memiliki ibu seperti dia. Wanita
cantik dan baik. Ibumu menjadi rebutan para laki-laki sebelum menikah dengan
bapak. Bapak menjadi laki-laki yang sangat beruntung bisa mempersunting
mendiang ibumu.” Sedikit demi sedikit ia memakan nasi goreng yang sejak tadi ia
mainkan. Aku masih diam. Tangan-tanganku terampil memainkan nasi goreng di atas
piring. Namun aku menjadi bodoh, seolah tidak tahu cara memakan nasi yang
terhidang kian menggoda didepan mata.
“Ibumu adalah sosok wanita yang sempurna. Dia
berwujud manusia namun berhati malaikat.”lanjutnya. Nampaknya ia masih sabar
melihatku tidak memberika reaksi apapun atas semua tuturannya. Akupun masih
diam seribu bahasa. Bayang-bayang ibu tidak bisa lepas dari pikiran. Seolah diantara
keduanya mengikat sebuah tali yang sangat erat. Sangat erat. Mungkin tidak akan
pernah lepas untuk selamanya. Sempat terlintas dalam pikiranku terhadap tingkah
Bapak. Sepeninggalnya ibu sama sekali tidak nampak sebuah kesedihan hinggap
pada dirinya. Apakah ia merasa tegar untuk menerima kenyataan atau hanya
berdusta menutupi perasaan hati yang hancur luluh lantah tak karuan. Aku tidak
tahu.
Tetap saja Bapak bercerita tentang kehidupan
almarhumah meskipun aku tidak memberikan respon sedikit akan ceritanya.
“Saat kami menikah, cita-cita kami adalah memilki
anak laki-laki. Sekarang kami memilikimu. Ketika Firman lahir, bapak dan ibu
saling berjanji, jika salah satu dari kami harus pergi, siapapun harus tetap
menjaga anak kami. Kamu. ” Dia diam. Aku diam. Kami diam. Tidak ada suara
sedikitpun.
“kenapa secepat ini?” mulutku tiba-tiba ikut mengambil
alih dialog ini.
“kenapa ibu terlalu jahat padaku. Kenapa ia begitu
tega melakukan ini semua. Bukankah aku anaknya? Bukankah dia ibuku? Bukankah
seorang ibu harus menjaga anaknya?” mulutku tidak bisa ditahan untuk
mengungkapkan apa yang sejatinya menjadi pengganjal dalam sanubari. Bapak hanya
mengaggukkan kepalanya. Seolah dia sudah mengerti dengan sikapku saat ini.
“Firman, bapak pikir kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti
ini semua. Kamu pasti juga tahu tentang ibumu. ” sembari ia meletakkan sendok
dan garpu yang sedari tadi ia gunakan. Nasi gorengnya masih sisa separuh masih
menanti untuk segera dilahap. Bapak tahu jika suasana diantara kami sudah
semakin serius. Dan dia juga tahu bahwa harus focus pada pembicaraan diantara
kami. Ia meneguk segelas air sekadar melumasi tenggorokan yang kering.
“Bumi bukanlah tempat abadi manusia Nak. Hanya
sementara manusia tinggal dibumi. Ibumu, Bapak, Mbah Minnah bahkan kamu sendiri
juga akan meninggalkan bumi ini kelak. Ini adalah kehendak Tuhan, Nak. Dan kita
hanya Makhluk Tuhan.”
“Kata Bapak Tuhan Maha Adil. Bapak bohong. Tuhan
tidak adil kepadaku. Dia menyiksaku dengan takdirnya. Di mana Tuhan? Dia tidak
memberikanku kebahagiaanku. Dia merenggut sumber bahagiaku.” aku semakin tidak
terima dengan kepergian ibu. Tangan kananku yang mememegang gelas sejak tadi,
menjadi semakin erat. Aku ingin membanting gelas itu sebagai wujud amarahku
yang semakin memuncak.
Bapak hanya diam. Dia hanya memandangku dengan
tatapannya.
“Ini semua gara-gara bapak. Ba…” aku menyela
ucapannya meski belum selesai.
“Iya! Ini semua salah bapak! Jika bapak tidak
sekarat sakit ginjal dan jika ibu tidak mendonorkan ginjalnya pada bapak, pasti
ini semua tidak akan pernah terjadi. Pasti ibu akan tetap di sini. Di rumah
ini. Firman tidak akan merasakan sakit yang amat sangat seperti sekarang.”
Amarah dan emosiku semakin menjadi-jadi. Gelas yang aku pegang lepas dari
tangan. Amarahku menuntun tangan ini melempar ke lantai. Pecahan gelas
terhampar di sekitar meja.
Bapak tersentak kaget dengan tingkahku. Nyaris ia
tidak percaya jika aku akan marah seperti ini. Ia sangat sedih dan amat
menyesal.
“bapak minta maaf, nak.” Ucapnya.
“Ribuan kali bapak minta maaf tidak akan bisa membuat ibu kembali di sini!” aku beranjak
dari kursi dan memungut pecahan gelas di lantai. Aku taruh pecahan itu di atas
meja dan lantas pergi meningglakan ruang makan.
“Firman mau keluar rumah. Mungkin pulang besok.”
Sambil berjalan meninggalkan meja makan.
Hujan sudah reda. Suara jangkrik saling bersautan
berpadu menjadi sebuah irama yang memekakkan telinga bagiku. Langit sudah tidak
menangis. Aku pergi dari rumah. Tidak tahu akan kemana. Mungkin diluar sana aku
akan bertemu dengan malaikat. Malaikat yang akan menyampaikan alasan tuhan
menciptakan takdir itu kepada. Langit pucat. Tidak ada bintang disana. Sang
bulan berpadu kasih dengan mega dilangit. Ia bersembunyi. Lampu jalanan
menerangi langkah kaki yang tak tahu akan berjalan kemana. Tak tahu akan
berhenti kapan. Memberika kekuasaan pada kaki-kaki kurusku untuk
mengekspresikan keinginannya. Membiarkan lampu-lampu jalan menenuntun kaki
untuk terbang.
0 komentar:
Posting Komentar