Jumat, 31 Mei 2013

Kertas Lipat

Aden adalah remaja 17 tahun yang memiliki permasalahan sederhana di usia mudanya sekarang. Mudah saja, ia belum menemukan jati dirinya sebagai manusia seutuhnya. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya bernama Abi. Ia berusia 25 tahun. Seorang dokter muda di sebuah rumaha sakit swasta ternama di Jakarta. Kakak perempuan bernama Viana. Seorang wanita 23 tahun namun dengan berbagai bakat yang dimilliki sekarang ia menjadai seorang penulis, sutradara sekaligus fotografer.  Orang tua Aden memiliki usaha rumah
makan yang cukup berkembang. Dari rumah makan inilah beliau mampu membiayai sekolah ketiga anaknya hingga mampu mengenyam bangku perkuliahan hingga lulus. Kecuali Aden, karena ia masih kelas 3 SMA dan beberapa bulan lagi ia akan mengikuti ujian nasional sebagai penentuan ia layak untuk lulus atau tidak.

Aden termasuk orang yang beruntung karena dilahirkan dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Seharusnya ia bersyukur dengan keadaan yang ia miliki, masih banyak pemuda-pemuda di sekitarnya tidak bisa menikmati takdir seperti dia. Tidak bisa merasakan bangku sekolah di saat usia mereka harus mengenyam pendidikan. Ayah dan ibu aden bukan orang tua yang dictator, memaksakan kehendak pada sang anak. Ayah Aden memberikan keleluasaan pada anak-anaknya untuk memilih jalan hidup yang diinginkan masing-masing.
Aden adalah anak yang sangat pintar di sekolahnya. Sejak SD hingga sekarang ia selalu menjadi juara di kelasnya. Sejak kecil tidak ada aktivitas yang ia jadikan sebagai sebuah hobi, selain belajar, belajar dan belajar. Kegiatan sehari-harinya hanya sekolah, belajar, makan dan tidur. Orang tuanya pun senang-senang saja dengan prestasi anaknya, Aden. Apalagi Aden sering mendapatkan juara olimpiade hingga tingkat nasional. Beliau menganggap bahwa dengan prestasi akademis Aden akan menjadi orang sukses kelak. Sehingga sang ayah memberikan sebuah kebebasan tanpa ada pantauan darinya.
Aden adalah seorang remaja yang pemalu. Sifat melankolis yang terlalu mendominasi pribadinya membuatnya bergaul dan tidak terlalu banyak teman. Lebih-lebih semasa SMA tidak pernah sekalipun mengikuti OSIS atau organisasi remaja lainnya. Menurutnya tidak penting, yang penting adalah setiap semester menjadi juara kelas. Hanya itu yang ada di pikiran Aden. Obsesinya menjadi yang terbaik sudah memenuhi kapasitas otaknya. Disaat teman-temannya aktif dalam ektrakulikuler disekolah, dia hanya berada di rumah untuk mengerjakan PR atau belajar untuk pelajaraan esok hari atau hanya sekadar membaca buku.
Aden sudah punya pacar. Gadis cantik itu bernama Fani. Ia kelas XII IPS 3, sedang Aden kelas IPA 1. Fani adalah salah satu siswi berprestasi di SMA. Setiap semester Fani pasti masuk dalam 10 besar rangking parallel. Ia sekretaris OSIS dan aktif di beberapa kegiatan ekstra di sekolah seperti paduan suara dan kegiatan lainnya. Usut punya usut Aden bisa berpacaran dengan Fani karena ketidaksengajaan Aden bertemu dengan Fani di pameran buku. Mereka mengambil buku yang sama, hampir terjadi perselisihan untuk memperebutkan buku itu.  Namun aden mengalah. Saat ia hendak pergi Fani memanggil Aden. Sambil mengulurkan tangan dan menyebutkan nama. Merekapun berbincang-bincang dan saat itulah mereka jadian.
Sebentar lagi Aden akan lulus SMA. Fani pacarnya memilih untuk kuliah di Solo di jurusan Desain. Aden sendiri sudah memiliki rencana untuk kuliah di ITB jurusan Teknik Perminyakan dan Pertambangan. Salah satu Universitas dan jurusan yang paling banyak diminati selain kodekteran. Dengan berbekal prestasi di sekolah, ia sangat optimis bisa lolos seleksi masuk ITB. Sehingga ia tidak mempersiapkan opsi universitas lain jikalau ia tidak lolos seleksi di ITB. Nampaknya ia sudah terlalu yakin dengan pilihannya tersebut tanpa membuat perhitungan yang tepat.
Hingga tiba hari itu. Pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi. Tanpa diduga-duga Aden, ia tidak lolos seleksi. Ia tidak diterima. Setengah mati Aden merasakan sedih dan masih tidak percaya bahwa dengan kepandaian dan rangking satu parallel di sekolah masih kurang cukup untuk menghantarkannya ke gerbang kampus yang ia cita-citakan sejak dulu. Berhari-hari ia larut dalam kesedihan. Pasca pengumuman, ia hanya berdiam diri di dalam kamar. Kedatangan Fani pun tidak mampu membawa perubahan di dalam hati Aden.
Semakin lama, Fani merasa enggan dengan sikap Aden yang tidak bisa menerima takdir. Di hari Fani pindah ke Solo pun Aden tidak menemui Fani meskipun hanya sekadar untuk memberikan salam perpisahan. Sejak saat itu hubungan mereka seperti hilang terbang terbawa angin tanpa ada sebuah kejelasan.
Hampir tiga minggu Aden meratapi kegagalannya. Hampir saja Aden berpikiran pendek untuk merasakan fantasi semu nge-drugs. Entah dar Melihat tingkah anaknya, orang tua Aden semakin sedih dan prihatin. Mereka takut jika Aden sakit. Berbagai cara sudah dilakukan mereka lakukan untuk membujuk Aden, namun tidak ada satu carapun yang membuahkan hasil.
Semua pendaftaran perguruan tinggi sudah ditutup. Orang tua Aden semakin khawatir. Mungkin mereka harus ikhlas jika Aden tidak kuliah tahun ini dan harus menunggu tahun depan. Ayah memutuskan untuk membawa Aden ke Semarang, ke rumah kakek. Aden bisa tinggal di sana untuk beberapa bulan sembari menenangkan dirinya.
Disinilah Aden mendapatkan kehidupan yang baru.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Entri Populer

Diberdayakan oleh Blogger.
 

Followers

 

Blogger news

Templates by Nano Yulianto | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger